Translate

Monday 17 December 2012


Kisah Nabi Muhammad yang Sabar dalam Penderitaan



Usia bocah lelaki itu baru enam tahun ketika di bawa ibunya menempuh perjalanan jauh dari mekkah ke madinah untuk mengunjungi keluarganya Bani Najjar, famili dari almarhum ayahnya. Selama di madinah ia juga berziarah ke makam ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib yang meninggal dua bulan sebelum dia dilahirkan. Kehadirannya di Madinah mendapat sambutan baik, bukan saja dari para bibinya melainkan juga dari para tetangga keluarga ayahnya tersebut. Maklumlah tutur kata, kecerdasan dan tingkah laku anak lelaki yang bernama Muhammad ini memang lebih mengagumkan dibandingkan dengan anak-anak seusianya.
Setelah beberapa hari menginap di keluarga ayahnya, ibunya mengajaknya kembali pulang ke Mekkah. Di tengah perjalanan ibunya jatuh sakit. Tidak lama kemudian ibunya meninggal dunia dan dikuburkan di suatu daerah bernama Abwa. Lengkaplah sudah penderitaannya, sejak dilahirkan Muhammad tidak mengenal ayahnya dan kini ibunya telah meninggal ketika usianya baru enam tahun.
Usai pemakaman ibunya, ketika semua orang yang menguburnya sudah pergi, Muhammad yang hanya ditemani oleh pembantunya bernama Ummu Aiman masih terkulai lemah disamping kuburan ibunya. Tanpa mempedulikan panas padang pasir yang menyengat kulit. Isak tangisnya tidak juga reda sekalipun Ummu Aiman terus menerus menghiburnya. Begitu pula air matanya tiada henti mengalir walaupun Ummu Aiman berkali-kali mengeringkannya.
Kehilangan kedua orang tua untuk anak seusianya memang ujian yang sangat berat. Ia tidak saja kehilangan satu-satunya orang yang selama ini melindungi dan menyayanginya melainkan juga kehilangan figur panutan hidup.
“Hai Ummu Aiman,” panggil Muhammad “Sekarang aku sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Lalu kemanakah aku sebaiknya pergi? Meneruskan perjalanan ke Mekkah atau kembali ke Madinah?”
Mendengar pertanyaan tersebut meledaklah tangis Ummu Aiman yang sejak tadi ditahannya. “Kemanakah engkau akan menuju Muhammad? Apakah sebaiknya engkau ke kakekmu Abdul Muthalib yang menjadi panutan bangsa Quraisy agar engkau mendapatkan perlindungan darinya?”
Akhirnya Muhammad diasuh oleh kakeknya. Muhammad mendapatkan perhatian khusus dari kakeknya dibanding dengan cucu-cucu yang lain. Hanya saja kebahagiaan tersebut tidak lama dapat dinikmatinya. Kematian kembali merenggut hari-harinya yang ceria. Genap dua tahun ia diasuh oleh Abdul Muthalib ketika kakeknya itu meniggal dunia. “Kini kemanakah aku harus pergi, wahai Ummu Aiman?” tanya Muhammad seusai memakamkan kakeknya.
“Bagaimana kalau ke pamanmu Abu Thalib?” jawab Ummu Aiman. “Ya, beliau seorang terkemuka yang memiliki kehebatan dan kemuliaan. Namun beliau seorang yang melarat dan mempunyai anak banyak. Kalau aku engkau serahkan kepada beliau, tentu akan memberatkan beban beliau. Aku tidak suka menambah berat beban seseorang” kata Muhammad.
Akan tetapi Ummu Aiman tahu, Abu Thalib sangat mencintai Muhammad. Tidak kurang cintanya dari ibunya sendiri. Itulah sebabnya mengapa Ummu Aiman menyerahkan Muhammad kepada pamannya.
Melihat keadaan ekonomi pamannya yang miskin, Muhammad tergerak untuk turut serta mencari uang. Akhirnya Muhammad memutuskan untuk membantu mencari uang. Meskipun masih anak-anak, Muhammad mulai menggembalakan kambing orang kaya. Tanpa keluh kesah sekalipun mencari tanah berumput di padang pasir tidaklah mudah. Pekerjaan tersebut ditekuninya dari hari ke hari. Hingga suatu hari Muhammad diajak pamannya berdagang ke negri Syam.
Di Syam menetaplah seorang pendeta bernama Buhaira yang tekun beribadah dan gemar membaca kitab-kitab lama seperti Injil Barnabas. Dalam Injil tertulis bahwa Nabi Isa AS pernah berkata “Akan datang seorang rasul sesudahku bernama Ahmad dan bila Rasul Ahmad ini berjalan maka akan dilindungi oleh awan.”
Suatu waktu Pendeta Buhrain melihat serombongan kafilah Arab yang memasuki Syam selalu diikuti oleh awan yakni khafilah pimpinan Abu Thalib. Ia kemudian mengundang kafilah tersebut agar singgah dirumahnya. Setelah memperhatikan gerak-gerik Muhammad, pendeta itu yakin anak itulah yang diutus Allah untuk menjadi seorang rasul sesudah nabi Isa AS.
Pendeta itu menasehati Abu Thalib agar menjaga Muhammad dengan sebaik-baiknya karena kelak anak tersebut akan menjadi pemimpin umat. Mendengar penuturan tersebut kasih sayang Abu Thalib kepada Muhammad menjadi berlipat ganda. Ia pun jadi sangat memperhatikan tanda-tanda kepemimpinan Muhammad. Tutur katanya yang lembut, bahasanya yang santun dan tingkah-lakunya terpuji. Apalagi ketika Muhammad beranjak dewasa, tidak hanya keluarga Abu Thalib yang membanggakannya. Masyarakat arab yang mengenalnya juga sangat mengaguminya.
Tabiat Muhammad yang terpuji ditambah dengan kepandaiannya dalam berdagang membuat para saudagar kaya ingin mempercayakan dagangannya kepada Muhammad. Orang pertama yang meminta Muhammad untuk mengurusi dagangannya ialah Khadijah binti Khuwalid, seorang janda yang rupawan. Sejak itulah Muhammad yang memimpin kafilah dagang Khadijah ke luar negeri.
Keberhasilan dan kejujuran Muhammad dalam berdagang mampu membuat sikap khadijah yang semula hanya mempercayainya menjadi hormat dan kagum kepadanya. Lambat laun kekaguman khadijah itu berubah menjadi rasa cinta sekalipun usia Khadijah 15 tahun lebih tua dari Muhammad. Tidak lama kemudian Allah mentakdirkan mereka menjadi suami istri yang saling mencintai, saling menghormati dan saling mempercayai.
Kehidupan Muhammad bersama Khadijah sekalipun terpaut 15 tahun labih muda sangatlah bahagia. Selain menjadi istri yang baik dan taat kepada suami, Khadijah adalah wanita pertama yang mengakui kerasulan Muhammad SAW. Khadijah juga orang pertama yang membela Muhammad dengan segenap harta dan jiwanya. Oleh karenanya Khadijah adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW. Sedemikian besar cinta Rasul SAW kepadanya, hingga tahun kematian Khadijah beliau namakan “Tahun Kesedihan”

No comments:

Post a Comment